Mengenal Ajaran Bung Karno
Pemuda dan
Patriotisme (Bag : 3)
Oleh
Bachrum Musa
Mohammad Hatta masih dalam usia 6 tahun sudah
mendengar perang kamang akibat salah seorang pamannya ditangkap Belanda. Masih
dalam MULO, sudah ikut dalam Jong Sumatera Bond, kala itu sudah sering
dibicarakan masalah sosial, menyebabkan ia tertarik kepada Revolusi Perncis.
Sebelum berangkat ke Belanda pada
tahun 1921, Hatta sudah merasakan punya kesadara Nasional, dan di Belanda Hatta
lebih bebas bertukar fikiran dengan siapa saja, menyebabkan dia dapat
berdedikasi dengan Darsono, juga dengan Tan Malaka. Kemudian Hatta ikut dalam
Perhimpunan Pimpinan Indonesia yang membawanya ke berbagai pertemuan
Internasional.
Sebuah percakapan dengan Tan
Malaka Hatta melontarkan, “bukankah
diktatur termasuk dalam sistem Komunisme?” dan oleh Tan Malaka, “diktatur proletariat dalam teori
Karel Marx hanya terdapat pada masa peralihan, mengalihkan kekuasaan kapitalis
atas sumber produksi ke tangan masyarakat?”.
Dalam peristiwa Noto Soeroto seorang
mahasiswa yang memuji Van Heutz memerangi Aceh, ia ditentang oleh mahasiswa
lain termasuk oleh Hatta. Hatta dalam kongres anti imperialisme pada tahun 1927
memperlihatkan sikap nasionalisnya yang menentang penjajahan.
Ketika
Hatta tiba di tanah air, beliau bukannya melamar jadi pegawai di perusahaan,
yang menjanjikan gaji di atas 500 Gulden, melainkan dia membentuk PNI
(Pendidikann Nasional Indonesia) tahun 1932.
Dengan landasan perjuangan lewat pendidikan
Bung Hatta meyakinkan bahwa kalau keyakinan itu sudah berkobar dan dipapah oleh
iman yang teguh dan pekerti yang bulat, maka semangat rakyat sudah merdeka,
biar pun Indonesia masih diperintah orang asing.
Untuk
mempertahakan pendiriannya bahwa demokrasi adalah jalan membangun kekuatan
rakyat, maka pada tahun 1945 Bung Hatta mengumumkan maklumat yang mengalihkan
fungsi KNIP sebagi lembaga pembantu Presiden, menjadi lembaga legeslatif yang menerima
pertanggungjawaban cabinet. Dekrit 3 November 1945, dengan menganjurkan multi
partai sistem. Sampai akhir hayatnya Bung Hatta adalah patriot Indoesia
terbesar.
Bug
Karno sejak kecil telah mendengar kisah dari ibu dan bapaknya tentang kekejaman
Belanda menumpas menumpas kerajaan Singa-raja dan moyang Sukarno gugur dalam
perang puputan. Dari bapak, Bug Karno mewarisi seorang nenek yang gugur dalam
pertempuran melawan Belanda, sebagai prajurit Diponegoro. Saat usia 6 tahun di
Mojokerto Bung Karno merasakan kesedihan yang mendalam, tatkala malam lebaran
tidak punya uang untuk beli petasan.
Dari
Sarinah bibi pengasuhnya, Sukarno mendapat pengajaran : “Karno, pertama engkau
harus mencintai ibumu. Akan tetapi, kemudian engkau harus mencintai pula rakyat
jelata. Engkau harus mencintai manusia umumnya”.
Sukarno
ikut dalam perkumpulan sepak bola campuran orang Belanda. Anak Belanda tidak
pernah mau bermain dengan anak bumi
putera, yang menyebutnya sebagai inlander.
Hal ini masih dalam usia di bawah 10 tahun dan mengendap dalam hati. Dalam usia
14 tahun Sukarno telah mencintai seorang
gadis Belanda bernama Rika Meelhuysen, jadi anti Belanda bukan kepada perorangan.
Di
rumah Cokro Aminoto, Bung Karno mulai berkenalan dengan tokoh pergerakan
seperti Alimin, Darsono, Muso dan mendengar kisah tentang penghisapan oleh
Belanda terhadap Indonesia. (Penulis
adalah aktivis Pemuda Marhaenis, Mantan Staf Yayasan Pendidikan Sukarno (YPS)
dan kini Wartawan WANTARA (bersambung).
Mengenal Ajaran Bung Karno
Pemuda dan Patriotisme (bag 4)
Oleh : Bachrum Musa
Pada usia 16 tahun (1917) Bung Karno
mendirikan Tri Koro Darmo, dengan tiga tujuan : kemerdekaan politik,
kemerdekaan ekonomi, dan kemerdekaan sosial. Pada tahun 1921 saat berada di Bandung, pikiran
Sukarno mulai terganggu meliha keadaan
rakyat Indonesia yang bukan proletar, tapi hidupnya miskin, yang oleh ahli ekonomi
disebut dengan istilah “penderita minimum”.
Menjawab pertanyaan itu terjadi
dialog dengan seorang petani bernama Marhaen di Desa Cigareleng, Bandung
Selatan, yaitu seorang petani yang mempunyai alat produksi, bukan proletar
tetapi hidupnya miskin. Dari nama Marhaen itu, keluar rumusan teori
Marhaenismenya Bung Karno.
Ini yang membedakan Sukarno dengan Tan Malaka dan Moh. Hatta. Kedua Patriot
besar itu sangat terganggu pikirannya oleh ketimpangan sosial, akan tetapi
keduanya lebih menekuni teori yang sudah ada untuk dijadikan bahan memperbaiki nasib bangsanya sendiri.
Bertolak dari teori Marhaenisme,
Bung Karno disertai 6 orang kawannya mendirikan Partai Nasional Indonesia
(PNI), pada 4 Juli 1927. Ini baru satu tahun berselang dari pemberontakan tahun
1926.
Setelah 2 tahun mendirikan PNI, Bung
Karno ditangkap dan divonis 4 tahun penjara, hanya dijalani selama 2 tahun. Akan tetapi ditahannya Bung Karno
oleh Pemerintah Kolonial telah menjadikannya sebagai martir, diakui kepemimpinannya
dan ajarannya dibaca oleh rakyat Indonesia.
Maka pledoi Bung Karno dalam
pengadilan Bandung, itu sangat berkesan bagi seluruh rakyat, karena memang Bung
Karno mengaku, “kami yang berdiri di sini ialah sebagai bagian dari pada rakyat
Indonesia yang berkelu-kesah itu”.
Kecintaan Bung Karno terhadap tanah
air tergambar jelas dalam ungkapkannya pada pidato tahun 1956 “rela aku meninggalkan Istana Merdeka ini,
tidak sebagai presiden, tetapi hanya sebagai patriot”. Ucapan tersebut telah
dipenuhinya secara praktek.
Sikap patriotism memang lebih
bergelora di kalbunya kaum pemuda, karena masa romantisme dengan penuh idealism
lebih banyak dirasakan pemuda ketimbang bapak-bapak yang mulai memikirkan harta
yang akan diwariskannya kelak.
Kepatriotikan
pemuda khususnya di Indonesia, dapat ditemukan antara tahun 1945-1950, bagamana
pemuda berani mempertaruhkan nyawanya untuk membela kemerdekaan.
Apa yang disebut dalam buku “The
Fighting Cook”, tentang keberanian pemuda Surabaya menjadikan tubuh kawannya
yang telah wafat sebagai perisai dan langsung maju dengan senjata kawan
tersebut untuk melawan musuh adalah bukti kepatriotikan pemuda Indonesia.
Kepatriotikan pemuda di masa darurat
sudah dapat dibuktikan, akan tetapi kepatriotikan pemuda di masa yang tidak
darurat perlu didiskusikan. Bahwa ada upaya-upaya mengalihkan romantisme pemuda
yang bergejolak kepada romantisme berfoya-foya bukanlah suatu keanehan.
Namun sejauh mana pun upaya merekayasa pemuda ke arah
kebalikan dari kodratnya, pada suatu hari “matahari akan terbit dan ayam jantan
akan berkokok”. Tauran dan bebagai unjuk
rasa hari ini, adalah kodrat pemuda yang patriotism, malah kelak bisa bermuatan
revolusioner. (bersambung)