Minggu, 07 Oktober 2012



Mengenal Ajaran Bung Karno
Pemuda dan Patriotisme (Bag : 3)

Oleh Bachrum Musa
            Mohammad Hatta masih dalam usia 6 tahun sudah mendengar perang kamang akibat salah seorang pamannya ditangkap Belanda. Masih dalam MULO, sudah ikut dalam Jong Sumatera Bond, kala itu sudah sering dibicarakan masalah sosial, menyebabkan ia tertarik kepada Revolusi Perncis.
            Sebelum berangkat ke Belanda pada tahun 1921, Hatta sudah merasakan punya kesadara Nasional, dan di Belanda Hatta lebih bebas bertukar fikiran dengan siapa saja, menyebabkan dia dapat berdedikasi dengan Darsono, juga dengan Tan Malaka. Kemudian Hatta ikut dalam Perhimpunan Pimpinan Indonesia yang membawanya ke berbagai pertemuan Internasional.
            Sebuah percakapan dengan Tan Malaka  Hatta melontarkan, “bukankah diktatur termasuk dalam sistem Komunisme?” dan oleh  Tan Malaka, “diktatur proletariat dalam teori Karel Marx hanya terdapat pada masa peralihan, mengalihkan kekuasaan kapitalis atas sumber produksi ke tangan masyarakat?”.
            Dalam peristiwa Noto Soeroto seorang mahasiswa yang memuji Van Heutz memerangi Aceh, ia ditentang oleh mahasiswa lain termasuk oleh Hatta. Hatta dalam kongres anti imperialisme pada tahun 1927 memperlihatkan sikap nasionalisnya yang menentang penjajahan.
Ketika Hatta tiba di tanah air, beliau bukannya melamar jadi pegawai di perusahaan, yang menjanjikan gaji di atas 500 Gulden, melainkan dia membentuk PNI (Pendidikann Nasional Indonesia) tahun 1932.
 Dengan landasan perjuangan lewat pendidikan Bung Hatta meyakinkan bahwa kalau keyakinan itu sudah berkobar dan dipapah oleh iman yang teguh dan pekerti yang bulat, maka semangat rakyat sudah merdeka, biar pun Indonesia masih diperintah orang asing.
Untuk mempertahakan pendiriannya bahwa demokrasi adalah jalan membangun kekuatan rakyat, maka pada tahun 1945 Bung Hatta mengumumkan maklumat yang mengalihkan fungsi KNIP sebagi lembaga pembantu Presiden, menjadi  lembaga legeslatif yang menerima pertanggungjawaban cabinet. Dekrit 3 November 1945, dengan menganjurkan multi partai sistem. Sampai akhir hayatnya Bung Hatta adalah patriot Indoesia terbesar.
Bug Karno sejak kecil telah mendengar kisah dari ibu dan bapaknya tentang kekejaman Belanda menumpas menumpas kerajaan Singa-raja dan moyang Sukarno gugur dalam perang puputan. Dari bapak, Bug Karno mewarisi seorang nenek yang gugur dalam pertempuran melawan Belanda, sebagai prajurit Diponegoro. Saat usia 6 tahun di Mojokerto Bung Karno merasakan kesedihan yang mendalam, tatkala malam lebaran tidak punya uang untuk beli petasan.
Dari Sarinah bibi pengasuhnya, Sukarno mendapat pengajaran : “Karno, pertama engkau harus mencintai ibumu. Akan tetapi, kemudian engkau harus mencintai pula rakyat jelata. Engkau harus mencintai manusia umumnya”.
Sukarno ikut dalam perkumpulan sepak bola campuran orang Belanda. Anak Belanda tidak pernah mau bermain dengan anak bumi  putera, yang menyebutnya sebagai inlander. Hal ini masih dalam usia di bawah 10 tahun dan mengendap dalam hati. Dalam usia 14 tahun  Sukarno telah mencintai seorang gadis Belanda bernama Rika Meelhuysen, jadi anti Belanda bukan kepada perorangan.       
Di rumah Cokro Aminoto, Bung Karno mulai berkenalan dengan tokoh pergerakan seperti Alimin, Darsono, Muso dan mendengar kisah tentang penghisapan oleh Belanda terhadap Indonesia. (Penulis adalah aktivis Pemuda Marhaenis, Mantan Staf Yayasan Pendidikan Sukarno (YPS) dan kini Wartawan WANTARA (bersambung).  


Mengenal Ajaran Bung Karno
Pemuda dan Patriotisme (bag 4)
Oleh :  Bachrum Musa
            Pada usia 16 tahun (1917) Bung Karno mendirikan Tri Koro Darmo, dengan tiga tujuan : kemerdekaan politik, kemerdekaan ekonomi, dan kemerdekaan sosial.  Pada tahun 1921 saat berada di Bandung, pikiran Sukarno mulai terganggu  meliha keadaan rakyat Indonesia yang bukan proletar, tapi hidupnya miskin, yang oleh ahli ekonomi disebut dengan istilah “penderita minimum”.
            Menjawab pertanyaan itu terjadi dialog dengan seorang petani bernama Marhaen di Desa Cigareleng, Bandung Selatan, yaitu seorang petani yang mempunyai alat produksi, bukan proletar tetapi hidupnya miskin. Dari nama Marhaen itu, keluar rumusan teori Marhaenismenya Bung Karno.
                  Ini yang membedakan Sukarno dengan Tan Malaka dan Moh. Hatta. Kedua Patriot besar itu sangat terganggu pikirannya oleh ketimpangan sosial, akan tetapi keduanya lebih menekuni teori yang sudah ada untuk dijadikan bahan  memperbaiki nasib bangsanya sendiri.
            Bertolak dari teori Marhaenisme, Bung Karno disertai 6 orang kawannya mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI), pada 4 Juli 1927. Ini baru satu tahun berselang dari pemberontakan tahun 1926.
            Setelah 2 tahun mendirikan PNI, Bung Karno ditangkap dan divonis 4 tahun penjara, hanya dijalani selama  2 tahun. Akan tetapi ditahannya Bung Karno oleh Pemerintah Kolonial telah menjadikannya sebagai martir, diakui kepemimpinannya dan ajarannya dibaca oleh rakyat Indonesia.
            Maka pledoi Bung Karno dalam pengadilan Bandung, itu sangat berkesan bagi seluruh rakyat, karena memang Bung Karno mengaku, “kami yang berdiri di sini ialah sebagai bagian dari pada rakyat Indonesia yang berkelu-kesah itu”.
            Kecintaan Bung Karno terhadap tanah air tergambar jelas dalam ungkapkannya pada pidato tahun 1956  “rela aku meninggalkan Istana Merdeka ini, tidak sebagai presiden, tetapi hanya sebagai patriot”. Ucapan tersebut telah dipenuhinya secara praktek.
            Sikap patriotism memang lebih bergelora di kalbunya kaum pemuda, karena masa romantisme dengan penuh idealism lebih banyak dirasakan pemuda ketimbang bapak-bapak yang mulai memikirkan harta yang akan diwariskannya kelak.  
            Kepatriotikan pemuda khususnya di Indonesia, dapat ditemukan antara tahun 1945-1950, bagamana pemuda berani mempertaruhkan nyawanya untuk membela kemerdekaan.
            Apa yang disebut dalam buku “The Fighting Cook”, tentang keberanian pemuda Surabaya menjadikan tubuh kawannya yang telah wafat sebagai perisai dan langsung maju dengan senjata kawan tersebut untuk melawan musuh adalah bukti kepatriotikan pemuda Indonesia.
            Kepatriotikan pemuda di masa darurat sudah dapat dibuktikan, akan tetapi kepatriotikan pemuda di masa yang tidak darurat perlu didiskusikan. Bahwa ada upaya-upaya mengalihkan romantisme pemuda yang bergejolak kepada romantisme berfoya-foya bukanlah suatu keanehan.
Namun sejauh mana pun upaya merekayasa pemuda ke arah kebalikan dari kodratnya, pada suatu hari “matahari akan terbit dan ayam jantan akan berkokok”.  Tauran dan bebagai unjuk rasa hari ini, adalah kodrat pemuda yang patriotism, malah kelak bisa bermuatan revolusioner. (bersambung)
 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar