Sabtu, 01 Desember 2012

Terkait Kasus Bank Century Pandangan KPK tentang Wapres Dikecam


WANTARA, Jakarta.
Keengganan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Wakil Presiden (Wapres) Budiono dalam kasus talangan Bank Century dengan dalih Wapres adalah warga negara istimewa dikecam. Upaya KPK berlindung di balik aturan konstitusi justru dikritik secara tajam para pakar hukum tata negara.
Dalam rapat kerja dengan Tim Pengawas Century DPR Selasa (20/11) lalu, Ketua KPK Abraham Samad mengatakan KPK tak bisa ‘menyentuh’ Wakil Presiden karena wewenang menyatakan ada pelanggaran ada di tangan DPR. Aturan yang dirujuk adalah Pasal 7A dan 7B UUD 1945. Jadi, sesuai konstitusi, KPK tak berwenang memeriksa Presiden dan Wakil Presiden.
Ketua Mahkamah Konstitusi, Moh. Mahfud MD, ikut bersuara keras atas pandangan Samad. “Apa ada dasar hukumnya pernyataan seperti itu? Saya tidak tahu kalau di konstitusi ada aturan seperti itu,” kata Mahfud usai Deklarasi Press Committee for Democracy Empowerment (PressCode) di gedung RRI Jakarta, Selasa (20/11).
Menurut Mahfud, sesuai konstitusi setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama di mata hukum. Perlakuan khusus terhadap kepala negara memang ada, tetapi tidak ada aturan spesifik ketika ada dugaan pejabat negara melakukan tindak pidana tidak bisa diproses hukum. “Tidak ada dari 37 pasal dalam UUD 1945 dengan amandemennya yang menyebut aturan seperti itu,” tegas Guru Besar Hukum Tata Negara UII Yogyakarta itu.
Kritik mantan Menteri Kehakiman, Yusril Ihza Mahendra, tak kalah pedas. Lewat akun twitter @Yusrilihza_Mhd, Prof. Yusril menegaskan istilah warga negara istimewa tidak dikenal dalam sistem kewarganegaraan. Sehingga setiap warga negara di hadapan hukum adalah sama perlakuannya, tidak terkecuali Presiden atau Wakil Presiden.
Selain menabrak prinsip dasar equality before the law, pandangan KPK mengenai ‘kekebalan’ Wapres juga tak berdasar. Peristiwa yang hendak diselidiki KPK terjadi pada saat Budiono menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia, bukan wakil presiden.
Mahfud dan Yusril sepandapat, KPK tetap berwenang menyelidiki dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan seorang presiden atau wakil presiden. “KPK berwenang menyidik Boediono, Semua warga negara berkedudukan sama di hadapan hukum” ujarYusril.
Yusril menunjuk pada Pasal 7 huruf A UUD 1945. Menuru Yusril, pasal tersebut tegas menyebutkan terhadap Presiden dan atau Wapres yang diduga melakukan korupsi, maka dapat dilakukan impeachment. Pasal 7 huruf A menyebutkan, “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”.
Dosen hukum tata tenaga Universitas Khairun Ternate, Margarito Khamis, ikut mengecam pernyatan Abraham Samad. Dia menilai argumentasi KPK mengada-ada dan tidak tepat menafsirkan Pasal 7 B UUD 1945. Pasal ini berbicara tentang sanksi dalam proses konstitusional. Sebaliknya, yang harus diselidiki KPK adalah kejahatan korupsi.
Menurut Margarito, KPK berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap eksekutif, legislatif dan yudikatif. Jika menemukan bukti yang cukup, KPK bisa memeriksa wakil presiden. Ia malah menilai aneh KPK menyatakan tidak berwenang ‘menyentuh’ Wapres padahal dulu pernah memeriksa Budiono di kantor Wakil Presiden. “Bilang saja KPK takut dan tidak berani,” ujarnya.
Yusril tak menampik masalah ini akan menimbulkan perdebatan panjang di Senayan. Apalagi sejumlah anggota DPR sudah mengajukan opsi hak menyatakan pendapat. Perdebatan panjang tak lepas dari pernyataan Ketua KPK yang intinya menyatakan KPK tak bisa ‘menyentuh’ wakil presiden. “KPK malah sekarang lempar lagi ke DPR yang justru akan timbulkan kontroversi politik lagi,” kata Yusril. (HO/R).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar