Rabu, 10 April 2013

Terkait Kasasi JPU Sri Astuti VS Usman HD 2



Beranikah Hakim Agung Nyatakan Usman Tak bersalah ?
Oleh :  John W Sijabat.
Menimbang, bahwa saksi (Samsudin Bin Enyon-red) pernah mengaku bahwa yang menyuruh terdakwa (Usman HD-red) menjual padi tersebut adalah saksi dan uangnya telah diterima oleh saksi dari terdakwa adalah karena tekanan dari terdakwa, namun di dalam persidangan tidak ada satu bukti pun yang dapat membuktikan bahwa saksi mengatakan demikian itu karena ada tekanan dari Terdakwa,…

Menimbang, bahwa berdasarkan uraian pertimbangan tersebut bahwa Terdakwa menjual padi tersebut atas sepengetahuan/suruhan saksi Samsudin Bin Enyon dan Terdakwa hanya mendapat bagian sebanyak Rp. 500.000,- dari penjualan padi tersebut, dengan demikian Majelis Haki Pengadilan Tinggi berkesimpulan bahwa pidana yang dijatuhkan terlalu berat dibandingkan dengan perbuatan yang dilakukannya, (halaman 9 paragraf 3 dan 4 Putusan Nomor : 417/Pid/201/PT.Bdg).

Suara sumbang Orkestra hukum bejudul ‘Pencuiran’ yang dimainkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Cikarang, Sri Astuti, bersama Majelis Hakim pimpinan Firman Tambunan. SH, pada persidangan yang digelar secara terbuka di Pengadialan Negeri (PN) Cikarang, pada Selasa 25 September 2012 lalu, diperdengarkan Majelis Hakim pimpinan Ny. P. Rosmala Sitorus, SH. MH, di Pengadilan Tinggi Jawa Barat, dalam pertimbangan di atas.

Rentak irama sumbang yang serasi dari Orkestra sidang berjudul ‘pencurian’ itu memang tak dapat dinikmati secara penuh karena volume suaranya kadang terdengar keras, kadang tak berbunyi, tergantung bagaimana Majelis Hakim memainkan tune control nya, namun yang pasti akhir dari Orkestra tersebut JPU dan Majelis Hakim sepakat menghantarkan Usman kedalam penjara selama 10 bulan, melalui Putusan Nomor : 1036/Pid.B/202/PN.Bks. Ketika Orkestra tersebut diputar ulang di PT. Bandung, sebagaimana kutipan di atas, (halaman 9 paragraf 3 dan 4 Putusan Nomor : 417/Pid/201/PT.Bdg), hukuman Usman dikurangi 4 bulan, berbuntut Sri Astuti mengajukan Kasasi.

Masih banyak lagi instrumen dan melodi yang akan dibawa untuk diperdengarkan terdakwa Usman dalam Orkestra persidangan, batal dimainkan karena dibungkam Majelis Hakim pada persidangan dengan kata-kata bijak “jangan banyak bicara kamu pencuri, nanti hukuman kamu akan lebi berat” (sumber-Usman) yang disampaikan Majelis Hakim di tengah persidangan.

Dalam poin (4) halaman 4 Kontra Memori Kasasi Usman dinyatakan bahwa, di persidangan Terdakwa tidak diberi kesempatan oleh Majelis Hakim untuk menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya dan terlihat jelas perkara ini telah disetting/direkayasa sejak dari penyidik sampai putusan.

Dalam poin (2) Kontra Memori Kasasinya Usman merinci hasil penjualan padi sejumlah Rp. 6.000.000, tersebut di antarnya : Samsudin Bin Enyon pemegang hak garap untuk masa sewa 5 kali garapan Rp. 3.500.000, Hendra Bin Adang, Kepala Desa Karang Mukti Rp. 1.000.000, Nana Nahrowi, Enjai dan dirinya masing-masing Rp. 500.000, oleh Penyidik dan JPU Adang, Nana Nahrowi dan Enjai di rekayasa sedemikian rupa sebagai saksi untuk kepetintangan H. Inday, terbukti selama masa persidangan hingga putusan sisa penjualan sebesar Rp. 5.500.000, tidak pernah diungkap.

Demikian juga isi Koran Sone News, edisi 72/73-27 Juni 2010, yang dijadikan barang bukti tersebut dituliskan bahwa H. Inday Bin Encing bersama Oboy dilaporkan ke polisi dalam kasus pencurian padi yang dijadikan objek perkara yang sedang disidangkan.

Sedangkan kwitansi sewa garapyang dibuat padsa tanggal 4 September 2008, sesungguhnya telah batal karena berganti hak kepada Achmad Edon, sebagaimana berita acara tanggal 18 November 2009, tetapi Majelis Hakim mengabaikan fakta tersebut.

Sesungguhnya pelaporan yang dilakukan oleh Usman dapat dijadikan bukti dibenarkan tidaknya tindakan yang dilakukan oleh terdawa Usman, sebagaimana yang dinyatakan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi di tingkat Banding yang pada dasarnya menyatakan bahwa Usman menjual padi atas suruhan Samsudin selaku pemilik.

Seharusnya Hakim hati-hati, cermat, dan matang menilai serta mempertimbangkan nilai pembuktian. Meneliti sampai di mana batas minimum ‘kekuatan pembuktian’ atau bewijs kracht dari setiap alat bukti yang disebut dalam pasal 184 KUHP.

Khusus alat bukti pemberitaan Koran, faktanya pada proses olah Tempat Kejadian Perkara (TKP), padi yang dijadikan objek perkara hingga saat ini masih tercatat sebagai alat bukti dalam laporan Polisi No. Pol : LP/892/K/VI/2010/SPK/Restro. Bks Kab, tanggal 6 Juni 2010, sedangkan laporan H. Inday yang disidqangkan tersebut, dibuat pada tanggal 11 Desenber 2010, dengan laporan pengaduan No. Pol : LP/1759/K/XII/2010/Resta Bks Kab. Dan terlapornya adalah Syamsudin.

“Dengan demikian padi yang diajadikan objek perkara, memerlukan penetapan (status hukum) untuk dapat dinyatakan milik pelapor, sehingga dapat dilakukan penuntutan”, artinya penjualan padi yang dilakukan usman belum dapat dinyatakan pencurian karena pada waktu terjadinya penjualan, secara hukum padi tersebut sah milik pelapor Samsudin hingga adanya putusan pengadialan.

Orkestra hukum berjudul ‘pencurian’ itu kini berada di tangan Hakim Agung di tangkat Kasasi dengan perkara nomor : 77 K/PID/2013, seluruh instrument telah diberikan Usman untuk pembuktian bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana pencurian, melainkan melakukan perintah Samsudin selaku pemilik padi, dan dilakukan setelah dua hari (8/6/12) membuat laporan pengaduan.

JIka Hakim Pengadilan Tinggi berani menyatakan Usman menjual padi atas suruhan Samsudin, dan padi itu secara hukum hingga saat ini (laporan Polisi No. Pol : LP/892/K/VI/2010/SPK/Restro. Bks Kab, tanggal 6 Juni 2010), beranikah Hakim Agung menyatakan Usman tak bersalah ?.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar