Selasa, 15 Januari 2013

Mengenal Ajaran Bung Karno

Sejarah Masyarakat Indonesia (Bag: 4)
Oleh : Bachrum Musa
Ø Studi Krisis Konflik Sara dan Dis-Integrasi Bangsa
Banyak eksponen priyai di tahun empat puluhan memasuki partai-paartai kiri, termasuk ketubuh PartaiKomunis Indonesia (PKI), (PNI waktu itu disebut partai priyai) banyak bekas pejabat Koloni yang menyatukan diri ke dalam birokratRepublik dan bersumpah setia pada Republik Indonesia.

Kebijaksaan Bung Karno yang mengangkat posisi Indonesia sebagai penggerak Negara-negara berkembang, menempatkan Indonesia berhadapan langsung secara konfrontatif dengannegara-negara bekas penjajah, atau yang oleh Ahmad Yani (bekas pangap) di sebut Nekolim, sehingga hampir seluruh eksponen bangsa bersatu padu.
Memang adsa eksponen pemuda dari Islam, Nasionalis, Sosialis, yang mereka semuah siap melaksanakan tugas revolusi, mengambil alih perusahaan milik asing, menjadi sukarelawan Trikora dan Dwikora. Bahwa tindakan pemecah- belahan bangsa yang dilakukan oleh mereka yang menyebut Orde Baru Vs Orde Lama, telah berakibat terpecahnya paguyuban bangsa.
Terjadinya pembunuhan massal 1965 sampai 1966, merupakan salah-satu peristiwa pembersihan paling berdarahdan paling besar dalam sejarah modern.
Walau Bung Karno pada tahun 1966 meniloak usulan Jendral Hartono (KKO) membela Bung Karno bebarengan dengan kelompok Barisan Sukarno, dan perintah “tunggu Komandoku”, komando yang tidak pernah datang sampai ajalnya tiba, namun pembunuhan, penahanan, penangkapan missal yang dilakukan oleh kekuatan yang mengaku Orde Baru dibawah pimpinan Soeharto terhadap rakyat yang diindikasi komunis atau Sukarnois, telah menghasilkan posisi bangsa dalam keterbelahan.
Tiga pulah tahun Suharta dan rezimnya menguasai Indonesia, yang dengan berbagai cara berujung kepada penindasan, penganiayaan, maka adalah wajar jika dari kezaliman itu muncul darimana saja. Pemindahan jumlah penduduk dari satu Provinsi ke Pro[pinsi luar Pulau Jwa, pembangunan industry alam didaerah luar Jawa, sementara pekerjanya diambil dari penduduk luar wilayah, atau semacam Free Port, malah merusak lingkungan tanpa dirasakan rezekinya oleh penduduk setempat.
Pemberian wewenang berlebihan kepada satu grup, apakah partai ataupun kesatuan, serta monopoli kekuasaan oleh kroni-kroni Suharto, menimbulkan kerugian di berbagai lini mengakibatkan munculnya perlawanan yang emosional dari berbagai lapisan. Penyelesaian reprssif atas dasar wewenang formal, lebih membangkitkan rasa sakit hati.
Rekayasa konflik yang dilakukan penguasa kepada komponen lainnyatelah memicu berbagai insiden yang terkadang berbau SARA, merupakan peristiwa yang amat disayangkan. Betapa beratnya pembangunan bangsa di tahun 1928, melalui Sumpah Pemuda. Betapa riskannya menjadikan Negara ditahun 1945 melalui revolusi senjata, dan mulianya posisi bangsa Indonesia setelah tahun 1964 berani keluar dari PBB, demi upaya membangun persatuan Bang-Bangsa baru merdeka lewat Conefo, dan semuahnya itu olah Nekolim dihancurkan lewat “oknum-oknum yang tidak benar,” seperti yang disebutkan Bung Karno dalam “perlengkapan Nawaksara”.
Setelah oknum-oknum tidak benar rewel, Nekolim, lewat pernyataan Menlu Galbreith, maka jatulahrezim Suharto.
Baik nuansa konflik maupun issu SARA, semuah itu akan segera berakhir, bersamaan dengan mampunya kita melakukan sikap arif, dengan mendahulukan apa yang lebih berguna, dan mengkemudiankan apa yang bias ditunda.
Ø Kesimpulan.
1. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk, yang dapat bersatu oleh rasa senasib sepenanggungan. 2. Penjajahan Belanda selama 350 tahun, telah membangun rasa senasib sepenanggungan itu. 3. Politik yang dimaksud Belanda untuk melahirkan kelas elit yang setia kepada Belanda, darinya muncul “pembelot-pembelot” revolusioner yang merangsang semangat berbangsa dan bernegara. 4. Revolusi 17Agustus 1945 telah mengakhiri semuah konflik lama, dan pembangunan persatuan baru diatas kesadaran bebangsa merdeka, serta membangun Indonesia modern dalam pergaulan bangsa-bangsa. 5. Rekayasa Nekolim lewat peristiwa G 30 S menghancurkanBung Karno, berakibat perpecahan di tubuh bangsa, terkadang dibeberapa tempat menyentuhunsur SARA melalui konflik-konflik bikinan penguasa. 6. Kesadaran atas peristiwa yang menimpa bangsa, akan menjadi pengalaman berharga untuk mengoreksi diri, dan darinya akan lahir kebijaksanaan yang lebih arif, menyongsong hari depan yang lebih baik.
(Penulis adalah aktivis Pemuda Marhaenis/Wartawan WANTARA).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar