Kamis, 15 November 2012

Sengketa Kepemilikan Tanah Pebayuran Menjadi Perkara Pidana di PN Bekasi Negara Gagal Melindungi Hak Rakyat


Oleh : John W Sijabat
Balai Harta Peninggalan demi hukum ditugaskan menjalankan pengurusan atas setiap warisan yang tak terurus. Tak peduli apakah harta peniggalan mencukupi maupun tidak untuk melunasi utang-utang si-peninggal. Balai itu di wajibkan, pada waktu mulai melakukan pengurusan tersebut memberitahukan hal itu secara tertulis kepada Kepala Kejaksaan Negeri.
Jika ada perselisihan pendapat tentang apakah suatu warisan dapat dianggap sebagai terurus atau tidak, maka Pengadilan Negeri, atas permintaan para yang berkepentingan ataupun atas pengusulan Kejaksaan, akan memutuskan persoalan tersebut tanpa bentuk acara. (Buku ke dua, Bab ke delapan belas ayat 1127 tentang Harta Peninggalan Yang Tak Terurus, KUHPerdata).

Balai Harta Peninggalan (BHP) merupakan unit pelaksana teknis instansi pemerintah yang secara struktural berada di bawah Direktorat Perdata, Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
Pada hakekatnya tugas balai harta peninggalan yaitu : "mewakili dan mengurus kepentingan orang-orang (badan hukum) yang karena hukum atau putusan hakim tidak dapat menjalankan sendiri kepentingannya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku".
Dengan dijadikannya sengketa kepemilikantanah di Kecamatan Pabayuran Kabupaten Bekasi, dengan alas an Laporan Pencurian pasal 363 dan Pengrusakan pasal 406 KUH-Pidana atas laporan pihak lain yang mengaku juga sebagai pemilk tanah yang terdapat di dalam gugusan tanah yang tercatat dalam Eigendom Verponding No. 6635 milik Gouw Kim Lay selaku ahli waris dari Gouw Tjeng Po, merupakan bukti kegagalan Negara dalam melindungi hak warga Negara, khususnya hak kepemilikan tanah.
Hal ini terkait alat bukti yang dijadikan alasan menerima laporan tindak pidana pencurian dan perusakan pada bangunan di atas lahan yang sedang dipersengketakan karena memiliki dua bukti kepemilikan adalah Sertifikat Hak Milik (SHM) milik Budhy Lesmana, sedangkan Eigendom Verpponding milik Gouw Kim lay diabaikan.
Sementara bukti kepemilikin dan penguasaan bangunan yang menjadi objek pidana dari kedua pihak yang bersengketa tidak ada, sehingga perkara Perdata seharusnya menjadi prioritas untuk diselesaikan terlebih dahulu.
Jika memang diharuskan memproses perkara pidana terkait bangunan tanpa indentitas, jelas harus dibuktikan melalui sejarah berdirinya bangunan tersebut yang nyata-nyata lebi memihak kepada Eigendom Verponding yang terbit 1913, sebab bangunan tersebut telah dibangun sejak tahun 1910 (berdasarkan prasati yang ada di lokasi bangunan) sedangkan kepemilkikan berasal dari Hak Guna Bangunan tahun 1984.
Dengan dipaksakannya perkara tersebut menjadi perkara pidana tanpa adanya koordinasi dengan BHP, selaku lembaga yang diwajibkan oleh undang-undang untuk mrngurus harta peninggalan yang tidak terurus, maka sesungguhnya Negara telah gagal melingdungi hak Gouw Kim Lay selaku ahli waris yang seharusnya diwakili oleh Balai Harta Peninggalan jika terjadi perselisihan sebagamana tertuang dalam pasal 1127 KUHPerdata.
Kegagalan tersebut telah nyata dari surat penjelasan BHP tanggal 8 Maret 1988, kepada Toegimin selaku kuasa dari Gouw Kimlay yang menyarankan pihak ahli waris untuk meminta penjelasan terkait tanah waris tidak terurus berdasrkan Eigendom Verponding tersebut ke Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Selanjutnya kegagalan tersebut terulang di Kejaksaan Negeri yang seharusnya memiliki data melalui pemberitahuan dari BHP sebagai mana tertuang dalam pasal 1127 KUHPerdata yaitu melalui Laporan tertulis dari BHP.
Dalam pasal 1129 KUHPerdata tersebut selanjutnya hal tersebut menjadi tanggung jawab Negara sebagai mana berbunyi “ Jika setelah lewatnya waktu tiga tahun terhitung mulai hari terbukanya warisan, tidak seorang waris pun memajukan diri maka perhitungan penutup harus dilakukan kepada Negara. sedangkan Negara akan berkuasa sementara menguasai harta peninggalan”.
Kegagalan Gouw Kimlay dalam mendapatkan hak kepemilikan tanah warisan Gouw Tjeng Po ayahnya, merupakan kegagalan Negara dalam melindungi hak warga Negara. (Penulis adalah Sekretaris Jenderal LSM GERAK (Gerakan Rakyat Anti Korupsi).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar