Sabtu, 14 Juli 2012

Desukarnoisasi Dan UBK (Bag : 2)


Desukarnoisasi Dan UBK (Bag : 2)



Atas Petunjuk Presiden

WANTARA, Jakarta
            Pada tanggal 31 Oktober 1983 sekitar pukul 10.00 Wib, datang sepucuk surat dari Kopertis III, yang isinya menyatakan “tidak memberikan izin beroperasinya UBK (Universitas Bung Karno – red), karena tidak memenuhi syarat akademik dan administratif”. Surat tersebut justru ditandatangani oleh pimpinan yang sebelumnya meberikan izin.
            Dari apa yang terjadi tahun 1983 itu, yang dinyatakan sebagai uji coba lewat prof-ballon di kwartal pertama, telah nyata bahwa rezim penguasa sama sekali tidak berniat melonggarkan aksi desukarnoisasi. Bahkan pada tahun 1983 itu, Nugroho Notosusanto, duduk sebagai pimpinan tertinggi P&K (Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan = Sekarang Kementerian Pendidikan Nasional - red) yang “kata orang” sudah mengaku salah akibat tulisannya di tahun 1981, ternyata tegar memusuhi Sukarnois.
Konsekwensi
            Bung Karno telah mereka Bangker di tahun 1965, mereka penjarakan hingga wafat sebagai orang tahanan di tahun 1970. UBK dilarang di tahun 1983, akan tetapi hati nurani rakyat Indonesia tidak dapat dibutakan. Hati nurani rakyat tahu mana yang benar dan yang salah. Walau mereka tidak bicara, tetapi mereka tetap memihak dan mencintai Bung Karno, serta membenci rezim penguasa yang menyatakan dirinya sebagai orde baru.
            Sejak tahun 1967 tidak pernah diajarkan di sekolah tentang ketokohan Bung Karno. Akibatnya, rakyat tidak  mengenal ajaran Bung karno, namun rakyat tetap  mengagumi Bung Karno, sang Proklamator kemerdekaan Indonesia.
            Di sisi lain, rakyat yang meresa dirugikan oleh rezim orde baru, menabung rasa benci di tabungan dendam, pada momen yang tepat meledak, disambut aktif oleh kaum pengagum Bung Karno, dengan melakukan  unjuk aksi (unjuk rasa -red) di seluruh tanah air. Bentuk seruan yang paling lunak adalah “adili Suharto”, dan yang paling ekstrim “dirikan Negara sendiri”.
Tugas UBK
            Jangan sekali-kali melupakan sejarah”, kata Bung Karno.
Pada tahun 1998, Suharto, berupaya mengelak atas jalannya sejarah dengan mengundurkan diri dari jabatan mandataris MPR. Akan tetapi, orang tidak bisa menggenggam sejarah. Sebab sejarah punya dialektika antara thesa, anti thesa dan sinthesa. Bersamaan dengan menggelegarnya unjuk aksi serta beredarnya kesalahan Suharto yang popular dengan istilah “dosa-dosa Suharto” , fajar Sukarno mulai menyingsing.
Fajar Sukarno mulai menyingsing, maka untaian mutiara ajaran Bung Karno harus segera dibenahi, agar tujuan  revolusi Indonesia, yang diproklamasikan 17-8-1945 dan termuat dalam pembukaan UUD 45, yaitu : 1.Negara Repubelik Indonesia yang berdaulat, 2. Masyarakat Indonesia yang adil dan makmur.  3. Dalam perdamaian dunia yang adil, dapat terwujud.
Sebagaimana digariskan Bung Karno, bahwa untuk mendapat ke tiga kerangka tujuan revolusi itu, haruslah dilaksanakan Trisakti, yakhi ; 1. Berdaulat di bidang politik. 2. Berdiri di atas kaki sendiri di bidang ekonomi. 3. Berkepribadian di bidang kebudayaan. Hal tersebut haruslah dipahami untuk dilaksanakan secara seksama.  (bersambung)

Oleh : Bachrum Musa
Aktivis Pemuda Marhaenis dan
Mantan Staf Sekretariat Yayasan Pendididkan Sukarno (YPS).
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar