Desukarnoisasi Dan UBK (Bag : 2)
Atas Petunjuk Presiden
WANTARA, Jakarta
Pada tanggal 31 Oktober 1983 sekitar
pukul 10.00 Wib, datang sepucuk surat dari Kopertis III, yang isinya menyatakan
“tidak memberikan izin beroperasinya UBK (Universitas Bung Karno – red), karena
tidak memenuhi syarat akademik dan administratif”. Surat tersebut justru ditandatangani
oleh pimpinan yang sebelumnya meberikan izin.
Dari apa yang terjadi tahun 1983
itu, yang dinyatakan sebagai uji coba lewat prof-ballon
di kwartal pertama, telah nyata bahwa rezim penguasa sama sekali tidak berniat
melonggarkan aksi desukarnoisasi. Bahkan pada tahun 1983 itu, Nugroho
Notosusanto, duduk sebagai pimpinan tertinggi P&K (Departemen Pendidikan
Dan Kebudayaan = Sekarang Kementerian Pendidikan Nasional - red) yang “kata
orang” sudah mengaku salah akibat tulisannya di tahun 1981, ternyata tegar
memusuhi Sukarnois.
Konsekwensi
Bung Karno telah mereka Bangker di
tahun 1965, mereka penjarakan hingga wafat sebagai orang tahanan di tahun 1970.
UBK dilarang di tahun 1983, akan tetapi hati nurani rakyat Indonesia tidak
dapat dibutakan. Hati nurani rakyat tahu mana yang benar dan yang salah. Walau
mereka tidak bicara, tetapi mereka tetap memihak dan mencintai Bung Karno,
serta membenci rezim penguasa yang menyatakan dirinya sebagai orde baru.
Sejak tahun 1967 tidak pernah
diajarkan di sekolah tentang ketokohan Bung Karno. Akibatnya, rakyat tidak mengenal ajaran Bung karno, namun rakyat
tetap mengagumi Bung Karno, sang
Proklamator kemerdekaan Indonesia.
Di sisi lain, rakyat yang meresa
dirugikan oleh rezim orde baru, menabung rasa benci di tabungan dendam, pada
momen yang tepat meledak, disambut aktif oleh kaum pengagum Bung Karno, dengan melakukan unjuk aksi (unjuk rasa -red) di seluruh tanah
air. Bentuk seruan yang paling lunak adalah “adili Suharto”, dan yang paling
ekstrim “dirikan Negara sendiri”.
Tugas UBK
“Jangan sekali-kali melupakan sejarah”, kata Bung Karno.
Pada tahun 1998, Suharto, berupaya mengelak atas jalannya
sejarah dengan mengundurkan diri dari jabatan mandataris MPR. Akan tetapi,
orang tidak bisa menggenggam sejarah. Sebab sejarah punya dialektika antara
thesa, anti thesa dan sinthesa. Bersamaan dengan menggelegarnya unjuk aksi
serta beredarnya kesalahan Suharto yang popular dengan istilah “dosa-dosa
Suharto” , fajar Sukarno mulai menyingsing.
Fajar Sukarno mulai menyingsing, maka untaian mutiara ajaran
Bung Karno harus segera dibenahi, agar tujuan
revolusi Indonesia, yang diproklamasikan 17-8-1945 dan termuat dalam
pembukaan UUD 45, yaitu : 1.Negara Repubelik Indonesia yang berdaulat, 2.
Masyarakat Indonesia yang adil dan makmur.
3. Dalam perdamaian dunia yang adil, dapat terwujud.
Sebagaimana digariskan Bung Karno, bahwa untuk mendapat ke tiga
kerangka tujuan revolusi itu, haruslah dilaksanakan Trisakti, yakhi ; 1.
Berdaulat di bidang politik. 2. Berdiri di atas kaki sendiri di bidang ekonomi.
3. Berkepribadian di bidang kebudayaan. Hal tersebut haruslah dipahami untuk
dilaksanakan secara seksama. (bersambung)
Oleh : Bachrum Musa
Aktivis Pemuda Marhaenis dan
Mantan Staf Sekretariat Yayasan Pendididkan Sukarno (YPS).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar