Soko Guru Revolusi
Sebagaimana di utarakan Bung Karno, dalam
“Mencapai Indonesia Merdeka” bahwa di seberang jembatan emas itu nanti, jangan sampai kereta kemerdekaan dikuasai oleh
unsur non-Marhaen. Artinya, Bung Karno sudah memperkirakan bahwa dalam
Indonesia Merdeka itu nanti, akan muncul kekuatan yang akan merigukan kaum Marhaen.
Terbukti, setelah kemerdekaan dicapai,
lewat bebagai kompromi dengan Belanda,
hingga posisi Republik di tahun 1950 sampai 1959, adalah kekuatan
liberal-kapitalis, mengakibatkan kedudukan kaum tani dan kaum buruh sangat tertekan.
Semangat revolusi empat - lima (1945-red) sudah disingkirkan, gagasan-gagasan demokrasi
liberal dengan sistim ekonomi kapitalis dikembangkan.
Terhadap penyelewengan dari jiwa revolusi
itu lah Bung Karno, pada tahun 1959 mendekritkan kembali berlakunya UUD Dasar
1945. Sejak saat itu, revolusi Indonesia dijalankan kembali. Ketika itu lah
ideologi Marhaenisme dalam modus yang sesuai dengan suasana politik dijalankan.
Kaum tani yang tertindas diangkat melalui
Undang-Udang Pokok Agraria (UUPA). Sementara kaum buruh teraniaya diberi kekuatan
lewat dewan perusahaan. Memang yang menelorkan UUPA adalah DPR dengan usul Menteri
Agraria. Akan tetapi, sebelum diputuskan lembaga tertinggi itu, PNI serta aparatnya
di Eksekutif dan Legeslatif, sudah menyiapkan RUU, sehingga UUPA menjadi undang-undang.
Marhaenisme di tahun 1960-an, tidak saja
bergerak secara gerakan politik oleh partai, Marhaenisme juga telah diterapkan lewat
aparatur negara. Dengan demikian posisi kaum tani sudah benar-benar sebagai soko
guru revolusi, yaitu merombak sistem hukum pertanahan di Indonesia, sehingga kaum
tani semakin menonjol di tengah-tengah bangsa.
Hal serupa terjadi di sektor
perburuan. Sejak dibentuknya Dewan Perusahaan maka, dalam setiap Perusahaan
Negara, wakil buruh harus ada duduk di Dewan Direksi dan pendapatnya harus dipertimbangkan.
Oleh karena itu, pada periode 1959-1965, peran kaum buruh dan kaum tani sanga besar,
sehingga pada tahun 1963 Bung Karno, berkata
“buruh dan tani adalah soko guru revolusi”.
Marhaenisme yang bersokogurukan kaum buruh
dan tani, telah berupaya agar di seberang
jembatan emas kereta dikuasai oleh si Marhaen, dengan tetap mempertahankan “kesadaran
kelas” bukan “pertentangan kelas”.
Melaksanakan revolusi dengan konsep Marhaenis
dalam negara yang sudah merdeka, sesungguhnya jauh lebih mudah daripada di
dalam kekuasaan penjajah. Marhaenisme juga telah menjalar ke lembaga DEPERNAS (Dewan
Perusahaan Nasional), yang melahirkan “Pola Pembangunan Semesta Berenca” 8
tahun yang lebih mengutamakan pembangunan mental sebelum melakukan pembangunan
material.
Ketika Bung Karno,
“mensamen-bundeling” (menyatukan-red) semua potensi nasional dalam membangun bangsa,
termasuk lewat pola pembangunan semesta berencana, nama Marhaenisme tidak disebutkan,
akan tetapi setiap kaum Marhaenis tahu benar bahwa pola itu adalah pola yang
digagas oleh asas Marhaenisme, terutama asas perjuangan untuk mencapai tujuan,
yaitu masyarakat Marhaenis.
Pada tahun 1965, Bung Karno menyimpulkan
seluruh jajarannya itu pada 5 poin yaitu : 1. Nasakom, 2. Pancasila, 3. Manipol,
4. Trisakti, 5. Berdikari, yang akan kita bahas dalam penjesan khusus di edisi mendatang.
Merdeka !!!!! (bersambung).
Oleh : Bahcrum Musa
Aktivis Pemuda Marhaenis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar