Selasa, 10 Juli 2012

Mengenal Ideologi Bung Karno (bag : 2)



Marhaenisme


NASAKOM
           
       Dalam proses Indonesia tumbuh menjadi satu nation (bangsa) dengan perlawanan terhadap penjajah dengan hasil kemerdekaan, maka di situ terdapat peristiwa politik yang sangat dialektis. Seperti terjadinya anti-thesa terhadap penjajahan, maka yang pertama muncul adalah perlawanan terhadap si penjajah untuk mencapai kemerdekaan.
            Aksi perlawaanan mencapai kemerdekaan ini secara polotik berada pada koridor nasionalisme. Artinya, perlawanan Diponegroro, Iman Bonjol, Hasanuddin terhadap penjajahan Belanda, kualitasnya berada pada koridor nasionalisme, yaitu perjuangan suatu bangsa atau suatu kaum dari tangan penjajah asing. Kemudian bentuk perlawanan dilanjutkan secara modern seperti yang dilakukan Budi Utomo, hingga lahirnya Sumpah Pemuda (1928) yang merupakan potensi berasaskan nasionalisme.
            Penghisapan yang dilakukan oleh penjajah juga menyentuh masyarakat yang berkecimpung di bidang usaha, mengantar pedagang-pedagang Islam menghimpun potensi dalam Syarikat Dagang Islam yang kemudian menjadi PSII, dengan dalil pada Islam, bahwa riba itu harus dilawan.
            Bersamaan dengan perlawanan dari potensi Islam menghadapi penghisapan, muncul juga perlawanan dari kelompok Marxis yang sudah ditanamkan Snevliet dengan lahirnya PKI di tahun 1920. Kelompok Komunis ini menolak terjadinya meerwaarde,  yaitu penghisapan pada tenaga kerja kaum buruh. Ke tiga kelompok yag merupakan kaum nasionalis menolak penjajahan demi kemerdekaan. Kaum Islam menolak penjajahan karena riba. Kaum Komunis menolak penjajahan karena pada penjajahan itu terjadi  meerwaarde.
            Ke tiga potensi inilah yang menurut Bung Karno, seperti yang diutarkannya dalam tulisannya “Nasionalis”, Isalamisme, Marxisme merupakan kekuatan bersama melawan penjajahan dan memperjuangkan kemerdekaan.
            Memahami Marxisme harus menjadi faktor sejarah, khususnya sejarah perjuangan, oleh karena itu ke tiga rumusan tadi, Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme adalah unsur pokok dari Marhaenisme. Sesuai dengan realitas sosial Indonesia, terutama pada periode penjajahan struktur masyarakat bisa dikatakan seluruhnya berada pada tingkatan marhaen. Bahwa ada kelas non marhaen seperti Sultan dan raja-raja, posisi mereka sebagai perangkat kolonial yang sejajar dengan orang Belanda, sedangkan rakyat banyak hampir  sepenuhnya berada dalam posisi marhaen. 
            Bung Karno menyimpulkan, bahwa klassen-strijd  tidak perlu diberlakukan di Indonesia sebab kenyataannya rakyat Indonesia secara keseluruhan berada dalam penindasan oleh penjajah, kenyataan inilah yang menggerakkan rakyat senantiasa merasa senasib- sepenanggungan, kemudian melakukan pekerjaan secara gotong royong. Semangat itu lah yang mengilhami rakyat pada tahun 1945 mau berjuang bersama-sama melawan Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan.
Di sini lah terjadi peristiwa bersatu padunya semua potensi tadi, Nasionalisme, Islamisme, dan marxisme mengembang membebaskan penderitaan rakyat. (bersambung)   

Ditulis :   

Oleh Bachrum Musa
Aktivis Pemuda Marhaenis/Wartawan WANTARA
         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar