Marhaenisme
NASAKOM
Dalam proses Indonesia tumbuh menjadi satu nation (bangsa) dengan perlawanan terhadap penjajah dengan hasil
kemerdekaan, maka di situ terdapat peristiwa politik yang sangat dialektis.
Seperti terjadinya anti-thesa terhadap penjajahan, maka yang pertama muncul
adalah perlawanan terhadap si penjajah untuk mencapai kemerdekaan.
Aksi perlawaanan
mencapai kemerdekaan ini secara polotik berada pada koridor nasionalisme.
Artinya, perlawanan Diponegroro, Iman Bonjol, Hasanuddin terhadap penjajahan
Belanda, kualitasnya berada pada koridor nasionalisme, yaitu perjuangan suatu
bangsa atau suatu kaum dari tangan penjajah asing. Kemudian bentuk perlawanan
dilanjutkan secara modern seperti yang dilakukan Budi Utomo, hingga lahirnya
Sumpah Pemuda (1928) yang merupakan potensi berasaskan nasionalisme.
Penghisapan
yang dilakukan oleh penjajah juga menyentuh masyarakat yang berkecimpung di
bidang usaha, mengantar pedagang-pedagang Islam menghimpun potensi dalam
Syarikat Dagang Islam yang kemudian menjadi PSII, dengan dalil pada Islam,
bahwa riba itu harus dilawan.
Bersamaan
dengan perlawanan dari potensi Islam menghadapi penghisapan, muncul juga perlawanan
dari kelompok Marxis yang sudah
ditanamkan Snevliet dengan lahirnya PKI di tahun 1920. Kelompok Komunis ini
menolak terjadinya meerwaarde, yaitu penghisapan pada tenaga kerja kaum
buruh. Ke tiga kelompok yag merupakan kaum nasionalis menolak penjajahan demi
kemerdekaan. Kaum Islam menolak penjajahan karena riba. Kaum Komunis menolak
penjajahan karena pada penjajahan itu terjadi meerwaarde.
Ke tiga
potensi inilah yang menurut Bung Karno, seperti yang diutarkannya dalam
tulisannya “Nasionalis”, Isalamisme, Marxisme merupakan kekuatan bersama
melawan penjajahan dan memperjuangkan kemerdekaan.
Memahami
Marxisme harus menjadi faktor sejarah, khususnya sejarah perjuangan, oleh
karena itu ke tiga rumusan tadi, Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme adalah
unsur pokok dari Marhaenisme. Sesuai dengan realitas sosial Indonesia, terutama
pada periode penjajahan struktur masyarakat bisa dikatakan seluruhnya berada
pada tingkatan marhaen. Bahwa ada kelas non marhaen seperti Sultan dan
raja-raja, posisi mereka sebagai perangkat kolonial yang sejajar dengan orang
Belanda, sedangkan rakyat banyak hampir
sepenuhnya berada dalam posisi marhaen.
Bung Karno
menyimpulkan, bahwa klassen-strijd tidak perlu diberlakukan di Indonesia sebab
kenyataannya rakyat Indonesia secara keseluruhan berada dalam penindasan oleh
penjajah, kenyataan inilah yang menggerakkan rakyat senantiasa merasa senasib-
sepenanggungan, kemudian melakukan pekerjaan secara gotong royong. Semangat itu
lah yang mengilhami rakyat pada tahun 1945 mau berjuang bersama-sama melawan
Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan.
Di sini lah terjadi peristiwa bersatu
padunya semua potensi tadi, Nasionalisme, Islamisme, dan marxisme mengembang
membebaskan penderitaan rakyat. (bersambung)
Ditulis :
Oleh Bachrum Musa
Aktivis Pemuda Marhaenis/Wartawan WANTARA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar