Senin, 11 Juni 2012


Penyidik Polresta Bekasi Kabupaten Diduga Standar Ganda
Bocah 7 tahun Korban Cabul Tak Diizinkan Didampingi Saat Pemeriksaan.
 Rumah pelaku LAM, lokasi NM dicabuli
 
Rumah Pelaku  (LAM), Lokasi NM dicabuli
WANTARA, Bekasi
            NM (7) bocah malang korban perbuatan cabul oknum pegawai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berinisial LAM, yang dulunya periang, kini berubah pendiam dan takut bila bertemu dengan orang yang tidak dikenalnya. Tingkah laku NM drastis berubah sejak mendapat pemeriksaan dari  Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polresta Bekasi Kabupaten, pada  Selasa (16/4/2012) lalu.  
            Sumiati ibu kandung NM kepada WANTARA di Mapolresra Bekasi Kabupaten, menuturkan, dua penyidik yang memeriksa anaknya tidak memberikan alasan mengapa dirinya tidak diizinkan mendampingi putrinya saat diperiksa. Meski demikian, ibu bocah malang itu  tetap merelakan putrinya untuk diperiksa dengan harapan kelak mendapatkan keadilan meski pun khawatir akan kondisi kejiwaan anaknya tersebut kelak.
            Namun apa yang terjadi? Usai pemeriksaan, raut wajah NM berubah dan  selalu ketakutan bila bertemu orang yang tidak dikenalnya serta bingung, tutur Sumiati. Bukan hanya itu, bocah malang itu pun katanya kerap melontarkan kalimat tidak mau ditangkap Polisi. “Sejak saat itu NM takut bertemu dengan orang. Kini setiap orang yang tidak dia kenal dianggapnya sebagai Polisi yang kelak menangkapnya,” ungkap Sumiati, seperti disampaikan oleh Sekretaris Jenderal LSM GERAK (Gerakan Rakyat Anti Korupsi) John WS,  kepada Redaksi WANTARA, Selasa (5/6) di Bekasi. 
            Menurut John WS, penyidik Unit PPA Polresta Bekasi Kabupaten, tidak profesional dalam menangani pengaduan korban. Hal itu dapat dibuktikan dari pemeriksaan yang dilakukan Polisi terhadap NM yang masih berusia berumur 7 tahun tanpa pendampingan dari orangtua atau pihak keluarga. “Ini sangat bertentangan dengan norma hukum. Khususnya etika penyidikan. Dan Jika benar terjadi perubahan piskologis terhadap NM setelah mendapat pemeriksaan, patut diduga telah terjadi penekanan selama pemeriksaan berlangsung.  Apalagi pemeriksaan dilakukan dalam ruangan tertutup,” tegasnya.
            Atas pengaduan Sumiati, kata John, Tim Ivestigasi LSM GERAK menemukan indikasi bahwa Polresta Bekasi Kabupaten, posisi standar ganda  dalam menangani kasus ini. Sehingga 
penangan pengaduan oleh pihak korban (Laporan Pengaduan Nomor : LP/378/K/IV/2012/SPK/Resta Bekasi, 16 April 2012) tak diseriusi secara maksimal.  Bahkan penyidik diduga sengaja melakukan pengaburan perkara ini dengan cara mencantumkan alamat Tempat Kejadian Perkara (TKP) yang berbeda dari fakta yang sebenarnya di lapangan sebagaimana dilaporkan.
             Demikian halnya alamat pelapor yang dicantumkan pihak penyidik hanya berdasarkan alamat dalam KTP tanpa mengikutsertakan (menulis) tempat tinggal yang sesungguhnya.  Anehnya, tempat tinggal NM (korban) dan Pelaku berinisial LAM,  juga tidak dicantumkan. Uraian singkat kronologis kejadian serta pasal yang disangakahkan juga diduga menyimpang.
            Penyimpangan dimaksud kata John juga dapat diteliti dari pasal yang diuraikan pihak kepolisian yang menerima laporan menempatkan pasal : PABUL (perbuatan cabul - red) Pasal 80 UURI No. 23 Th 2002 Tentang Perlindungan Anak. Menurut Sekjen LSM GERAK, John WS, pasal tersebut tidak memuat unsur perbuatan cabul (PABUL- versi Polisi-red). “Pasal itu hanya perbuatan kekerasan terhadap anak. Sementara korban NM sebagaimana yang diterangkan para saksi (termasuk istri terduga pelaku) menyatakan, pelaku  LAM meniduri korban (NM 7 Tahun).         
             John WS juga mempertanyakan perkataan Kanit PPA Iptu Endang S kepada salah satu  pengurus LSM GERAK mendampingi keluarga korban, yang melontarkan, “saya tidak takut terhadap siapa pun. Bersyukurlah  ibu sudah dibantu. Kenapa ibu lapor ke LSM. Nanti ibu dimanfaatin dan uang ibu diporotin. Tidak usah bawa-bawa LSM,” kilahnya.  
            Ketika Kanit PPA Iptu Endang S dikonfirmasi soal pemeriksaan terhadap korab NM (7 Tahun) dilakukan tanpa pendamping dijawab, “hal itu merupakan konseling pribadi.  Sedangkan perbedaan lokasi TKP merupakan tanggung jawab Unit Sentra Pelayanan Kepolisian”.
Nasib kelanjutan kasus ini kata John WS sangat diragukan. Hal itu terkait dengan posisi pelaku yang bekerja di Kemenkeu. Sementara pihak korban hanya anak seorang sopir angkutan umum di Bekasi. Karenanya kata John menambahkan, pihaknya akan membawakan kasus ini kepada Pimpinan Polri  Jenderal Timor Pradopo dan Komisi Perlindungan Anak, serta Komisi III DPR-RI. (Ramli).    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar