Diskriminasi Penanganan Pengaduan di
Polresta Bekasi Kabupaten
Perbedaan
pelayanan terhadap pencari keadilan di lembaga Kepolisian ternyata bukan sekedar kabar semata, akan tetapi kenyataan.
Faktor kekayaan, jabatan dan pengetahuan
atau SDM kerap mampu memberikan pengecualian dan sering dijadikan fasilitas dan
alasan untuk merampas hak kaum lemah untuk mendapatkan pelayanan.
Ironisnya,
kebenaran para pihak lemah ekonomi itu, kadang terkubur atas dasar kesalahan
yang dicari-cari oleh petugas di lembaga yang mengemban amanat ; mengayomi, melindungi, dan melayani masyarakat
. Sehingga hak dasar soal keadilan yang
semestinya didapatkan, hilang begitu saja tak jelas di mana rimbanya.
Pangkat
dan jabatan bagi oknum tertentu di institusi
kepolisian memungkinkan jadi wujud berpraktek curang secara leluasa mencari
keuntungan di atas penderitaan pencari
keadilan lemah yang datang melapor. Parahnya,
korban justru dilaporkan dengan dasar yang belum jelas. Ini sebagai wujud Polisi dalam
menjalankan tugasnya standar ganda, “mengais
rejeki” saat menjalankan tugas.
Hal inilah
yang menjadikan sejumlah masyarakat Indonesia, tua muda, miskin dan kaya, enggan berurusan dengan Polisi. Sering
kita dengarkan lontaran kalimat yang menyatakan, “repot berurusan dengan
Polisi”.
Bukan
maksud mendiskreditkan Polisi, tapi sekedar berpartisipasi mewujudkan lembaga
Kepolisian untuk berbenah supaya masyarakat lebih mencintai Polisi secara utuh,
maka tulisan ini dibuat sebagai
sumbangsih atas keberhasilan Kepolsian dalam menjaga ketertiban dan dengan
terus berkomitmen menegakkan keadilan.
Tulisan ini tentu
dilatarbelakangi pesan Mantan Kapolri Jendral Anton Sujarwo saat memberikan
beberapa Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (PERKAP-RI) kepada
penulis, “mungkin untuk bertemu Kapolri suatu
hal yang sulit, tapi dengan membaca ini, anda mengetahui keinginan Kapolri bagaimana
seharusnya anggota Polri bertindak”.
Atas dasar
Perkap pula, judul tulisan ini dibuat sebagai pengimbang realita yang terjadi
khususnya di wilayah Polresta Bekasi Kabupaten, untuk dijadikan bahan
pertimbangan oleh Kapolresta serta diharapkan menambah perbendaharaan
pengetahuan bagi banyak pihak.
Seperti “kasus
diskriminasi” yang dialami Sumiarsi (46) orangtua gadis cilik
(7) korban cabul Lamono yang melaporkan nasib anaknya kepada Sentra Pelayanan Kepolisian (SPK) lalu diteruskan ke Unit Petugas Perlindungan Anak
(PPA) kemudian menjadi terlapor di Unit Keamanan Negara (Kamneg) di Polresta Bekasi
Kabupaten, juga suaminya Tabrani sang sopir angkutan umum.
Sejak melapor ke
SPK, tindakan diskriminasi diakui oleh Sumiarsi
dirasakan, karena dalam Surat Tanda Penerimaan Laporan/Pengaduan Nomor
: LP/37/K/IV/SPK/Resta Bekasi, alamat Sumiarsi tidak dicantumkan sesuai dengan
domisili, tempat kejadian perkara dituliskan berbeda dari lokus perkara, demikian
juga pasal yang disangkakan menyimpang dari materi perkara, juga kronologis
perkara dibuat seringan mungkin, diduga untuk mendukung pasal yang dikenakan
kepada pelaku.
Diskriminasi
lebih jauh lagi diakui Sumiarsi ketika
kelanjutan laporannya di tingkat penyidik oleh Unit PPA. Kala itu dipimpin oleh
Endang S. Meskipun barang bukti dan saksi serta hasil
visum dari Rumah Sakit Polri Kramat Jati telah lengkap, tapi, pelaku cabul Lamono
Pegawai di Kementerian Keuangan RI ini
tidak kunjung diperiksa dan ditahan.
Peristiwa itu
membuat Sumiarsi harus berulangkali datang ke Polresta Bekasi Kabupaten melengkapi
ragam bukti lainnya. Merasa ada hal tak
beres pada pelayanan Polisi dan terkesan diskriminatif, Sumiarsi mengadukan nasib malangnya tersebut ke LSM GERAK (Gerakan Rakyat Anti Korupsi),
baru ada perubahan dan akhirnya Lamono ditangkap.
Diskriminasi kata
Sumiarsi belum berakhir, hal itu dapat dibuktikannya setelah dia melakukan
perdamaian dengan keluarga Lamono, bernama
Supama (Supomo-red). Supomo kata Sumiarsi kepadanya dan suaminya berulangkali datang
meminta tolong supaya memaafkan Lamono.
Kemudian Sumiarsi mengabulkan permohonan maaf pihak lamono melalui
Supomo. Hal itu dibuktikannya dengan dibuatnya secara bersama surat pernyataan
damai.
Atas pemaafan
itu, kata Sumiarsi Supomo memberikan sejumlah uang sebagai ucapan terima kasih,
tapi berujung kepada panggilan penyidikan dari Unit Kamneg Polresta Bekasi Kabupaten
dengan perkara penggelapan dan penipuan sebagaimana
diatur dalam pasal 378 dan 372 KUHP.
Surat panggilan
dalam rangka penyidikan ditandatangani
Wakasat, AKP. Suriyat SH, NRP 663010447. Sumiarsi di surat itu dijadikan saksi dalam perkara tindak
pidana penipuan dan penggelapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 378 KUHP sub
pasal 372 KUHP yang terjadi Selasa 31 Juli 2012 di Kantor LSM Tegar, atas dasar
Laporan Polisi nomor : LP/852/K/VIII/2012/SPK/Resta Bks tgl 13 Agustus 2012,
atas laporan Supama.
Pemanggilan menambah diskriminasi jajaran Polresta Bekasi
Kabupaten, sebab status perkara belum jelas tapi sudah ditingkatkan ke tahap penyidikan. Hal ini bertentangan dengan Perkap RI Nomor :
12 Tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara di
Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Terkait kasus
ini patut dipertanyakan kinerja Wakasat AKP
Suriyat SH, yang pada uraian singkat perkara dalam surat panggilannya tidak
diceriterakan bagaimana kejadian perkara dan siapa pelakunya. Olah Tempat Kejadian Perkaranya (TKP) pun
belum dilakukan.
Lalu bagaimana
dalam melakukan gelar perkara tingkat awal untuk menentukan klasifikasi jenis
perkara untuk selanjutnya membuat rencana
kerja penyelidikan dan penyidikan kemudian
mengirimkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada pihak
Penuntut Umum (Jaksa).
Ini bukti
betapa Kejamnya dunia ini. Niat baik
Sumiarsi memaafkan perbuatan Lamono yang mencabuli putrinya NV (7) nyaris terekayasa
mulus “dijadikan tersangka” oleh oknum Polresta Bekasi Kabupaten.
Pada sisi
lain, patut dipertanyakan lanjutan dari penyidik atas laporan pengaduan Supomo
apa tindakan penyidik jika ternyata laporan tersebut mengada-ada (keterangan
palsu) sebagaimana diatur dalam BAB IX pasal 242 tentang laporan palsu. Apakah yang akan dilakukan Wakasat AKP.
Suriyat SH dan Kapolresta Bekasi Kabupaten ?
Menjadi pertanyaan besar.