Mengenal Ideologi Bung Karno (bag : 1)
Marhaenisme
Oleh Bachrum Musa
Aktivis Pemuda Marhaenisme
WANTARA,
Jakarta
Marhaenisme adalah ideologi yang diajarkan oleh Bung
Karno Tahun 1927, saat mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan
rumusan; Sosio Nasionalisme dan Sosio Demokrasi. Sosio Nasionalisme adalah perjuangan
mengenai kemerdekaan nasional bagi Indonesia. Sosio Demokrasi adalah susunan masyarakat yang adil
dan tanpa penindasan di dalam Indonesia merdeka.
Pada
kongres PNI di Purwokerto (1963), Bung Karno menegaskan, Marhaenisme itu adalah
Marxisme yang diterapkan dalam
situasi dan kondisi Indonesia. Kepada kader-kader PNI, Bung Karno menekankan
agar memahami Marxisme terlebih
dahulu sebelum memahami Marhaenisme. Memahami Marxisme haruslah secara objektif sebagai upaya memahami satu
ideologi tanpa pretense.
Memang dalam Marxisme teori dialektika diutarakan sebagai metode
untuk memahami keadaan. Dialektika juga bukan penemuan Karel Marx, melainkan
Hegel. Tak dapat dipungkiri bahwa setiap peristiwa menglami proses dialektika
yakni: thesa, yang merupakan aksi awal. Kemudian datang lawan dari aksi yang
disebut anti thesa. Proses lanjutan
dari aksi atau thesa terhadap lawan aksi atau anti thesa, itulah yang disebut
Marx sebagai anythesa.
Dalam
memahai dialektika perlu kita hubungkan dengan peristiwa yang terjadi di tanah air kita. Tahun 1596 Belanda pertama
kali menjangkau Indonesia dengan motif dagang yang selanjutnya menjadi
penjajahan lewat VOC dan seteruhnya.
Aksi
Belanda, melakukan penjahan terhadap Indonesia merupakan thesa yang mau tidak
mau mengakibatkan perlawanan dari rakyat Indonesia. Perlawanan seperti itu
sangat alami, seperti kata Herbert Spencer, “reactive
verset van verdrukte elemenen”, atau
yang disebut Bung Karno “jangankan manusia,
cacing pun kalau diinjak akan menggeluget-geluget”. Memang perlawanan dari
rakyat Indonesia sudah mulai kentara seperti yang diperankan oleh Diponegoro,
terkenal dengan “perang Java”
1825-1830, kemudian dilanjutkan dengan “Perang Paderi” di Sumatera dan
“Perang Hasanuddin” di Sulawesi.
Perlawanan
dari kaum yang dijajah tersebut dalam kaidah dialektika merupakan anti-thesa
terhadap thesa yang awal. Kemudian sejarah membuktikan bahwa anti-thesa yang
dijalankan oleh rakyat Indonesia terhadap thesa penjajahan melalui satu moment
atau keadaan, yaitu perang dunia ke-2, rakyat Indonesia melepaskan belenggu
penjajahan dan menyatakan kemerdekaan. Peristiwa perang kemerdekaan itu adalah
yang dimaksud anythesa.
Dalam
kaitan ini perlu juga dihubungkan dengan praktek lapangan seperti, yang dilakukan
Bung Karno pada 29 Desember 1929, pada
rapat PNI di Klaten, dengan mengatakan, “bila nanti terjadi perang Pasific,
maka pada saat itulah Indonesia melepaskan belenggu penjajahan”. Pernyataan
tersebut merupakan dialektika, 16 tahun kemudian menjadi kenyataan.
Selain
dari dialektika, pada Marxisme filosofi
juga selalu diperdebatkan antara historis materialism dan vijsgering materialisme. Yang dapat diterima dalam Marhenisme
adalah historis materialisme, yaitu; sejarah perkembangan masyarakat bahwa akal
itu pembentuk perkembangan masyarakat adalah keliru, karena yang terjadi adalah
keadaan yang ada di tengah-tengah manusia
itulah yang menimbulkan manusia berfikir
memecahkan persoalannya. Yakni; anti-thesa mencari anythesa. (bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar