Minggu, 10 Juni 2012

Polhukam


Mengenal Ideologi Bung Karno (bag : 1)
Marhaenisme
            
Oleh Bachrum Musa
Aktivis Pemuda Marhaenisme
 
WANTARA, Jakarta
Marhaenisme adalah ideologi yang diajarkan oleh Bung Karno Tahun 1927, saat mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan rumusan; Sosio Nasionalisme dan Sosio Demokrasi. Sosio Nasionalisme adalah perjuangan mengenai kemerdekaan nasional bagi Indonesia. Sosio  Demokrasi adalah susunan masyarakat yang adil dan tanpa penindasan di dalam Indonesia merdeka.
                Pada kongres PNI di Purwokerto (1963), Bung Karno menegaskan, Marhaenisme itu adalah Marxisme yang diterapkan dalam situasi dan kondisi Indonesia. Kepada kader-kader PNI, Bung Karno menekankan agar memahami Marxisme terlebih dahulu sebelum memahami Marhaenisme. Memahami Marxisme haruslah secara objektif sebagai upaya memahami satu ideologi tanpa pretense.
Memang dalam Marxisme  teori dialektika diutarakan sebagai metode untuk memahami keadaan. Dialektika juga bukan penemuan Karel Marx, melainkan Hegel. Tak dapat dipungkiri bahwa setiap peristiwa menglami proses dialektika yakni: thesa, yang merupakan aksi awal. Kemudian datang lawan dari aksi yang disebut anti thesa. Proses   lanjutan dari aksi atau thesa terhadap lawan aksi atau anti thesa, itulah yang disebut Marx sebagai anythesa.
                Dalam memahai dialektika perlu kita hubungkan dengan peristiwa yang terjadi di  tanah air kita. Tahun 1596 Belanda pertama kali menjangkau Indonesia dengan motif dagang yang selanjutnya menjadi penjajahan lewat VOC dan seteruhnya.
                Aksi Belanda, melakukan penjahan terhadap Indonesia merupakan thesa yang mau tidak mau mengakibatkan perlawanan dari rakyat Indonesia. Perlawanan seperti itu sangat alami, seperti kata Herbert Spencer, “reactive verset van verdrukte  elemenen”, atau yang disebut  Bung Karno “jangankan manusia, cacing pun kalau diinjak akan menggeluget-geluget”. Memang perlawanan dari rakyat Indonesia sudah mulai kentara seperti yang diperankan oleh Diponegoro, terkenal dengan “perang Java”     1825-1830, kemudian dilanjutkan dengan “Perang Paderi” di Sumatera dan “Perang Hasanuddin” di Sulawesi.
                Perlawanan dari kaum yang dijajah tersebut dalam kaidah dialektika merupakan anti-thesa terhadap thesa yang awal. Kemudian sejarah membuktikan bahwa anti-thesa yang dijalankan oleh rakyat Indonesia terhadap thesa penjajahan melalui satu moment atau keadaan, yaitu perang dunia ke-2, rakyat Indonesia melepaskan belenggu penjajahan dan menyatakan kemerdekaan. Peristiwa perang kemerdekaan itu adalah yang dimaksud anythesa.
                Dalam kaitan ini perlu juga dihubungkan dengan praktek lapangan seperti, yang dilakukan Bung Karno pada  29 Desember 1929, pada rapat PNI di Klaten, dengan mengatakan, “bila nanti terjadi perang Pasific, maka pada saat itulah Indonesia melepaskan belenggu penjajahan”. Pernyataan tersebut merupakan dialektika, 16 tahun kemudian menjadi kenyataan.
                Selain dari dialektika, pada Marxisme filosofi juga selalu diperdebatkan antara historis materialism dan vijsgering materialisme. Yang dapat diterima dalam Marhenisme adalah historis materialisme, yaitu; sejarah perkembangan masyarakat bahwa akal itu pembentuk perkembangan masyarakat adalah keliru, karena yang terjadi adalah keadaan yang ada di tengah-tengah manusia   itulah yang menimbulkan manusia berfikir memecahkan persoalannya. Yakni; anti-thesa mencari anythesa. (bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar